Kamis, 23 September 2010

Remake - 1918 (part II)



St. Petersburg
 (Petrogard) Januari 1918

Lama setelah sang pemimpin revolusi, Lenin, mengumumkan perubahan hasil dari marxismenya, keadaan negara tidak nampak tenang bahkan huru-hara terjadi di mana-mana. Tingkat kriminalitas meninggi, itu yang paling kurasakan sebagai orang yang turut terlibat di belakang permainan ini semua. Narkotika, aku memproduksi narkotika jenis sedatif seperti valium dan jenis painkiller seperti morfin atau heroin. Barang-barang ini segera menjadi trend di kalangan kaum stress dan orang-orang yang sibuk mencari cara untuk menghamburkan uang mereka. Membodohi dunia namanya, dan itu yang kulakukan, bersembunyi di ruang penelitianku dan bereksperimen tentang segala sesuatu tanpa menyadari ada bahaya yang selalu mengintari kehidupanku, dentuman bom dan letupan senapan di luar sana.



Akhir tahun 1917 ketika revolusi yang pertama di mulai, dan bersamaan dengan kabar mengenai kemenangan sekutu atas blok timur, khususnya Jerman, sama sekali tidak mengubah jalan hidupku. Aku tetap asik bermain di sini, di labolatorium khusus yang diciptakan para kriminal yang membayar obatku bersama ‘anak-anak’ku.
Mereka adalah si kembar Fyodor dan Nikolai. Banyak pertanyaan, tentang anak siapa sebenarnya mereka ini? Jawabku hanya ‘anak’ku karena mereka mirip denganku, dan mewarisi mata kelabu Zakya. Ya, bisa dibilang mereka adalah ‘anak kami’ walau aku tidak tahu bagaimana saat itu. Kedua anak ini kembali ke tanganku beberapa tahun setelah kematian Zakya, tepatnya bersamaan dengan kabar kematiannya. Saat itu aku berada di Rusia, dengan sangat berbaik hati teman lamaku, Alexa, mengurus keduanya di Paris hingga mereka cukup besar untuk kembali ke Rusia.

Sebenarnya bukan keputusanku untuk kembali ke negeri ini, hanya karena keputus-asaan, dan rasa menyesal, akhirnya keputusan ini diambil karena keegoisanku semata yang ingin melupakan Zakya. Bersama Sky aku kembali ke St. Petersburg, rumah lama yang ternyata sudah sama sekali tak berbentuk. Tidak panjang ceritanya hingga aku bergabung dengan organisasi kriminal yang memproduksi narkotika hingga berurusan dengan penyakit dan vaksin.

///

Langit di kota St. Petersburg tidak begitu indah, setidaknya masih lebih indah langit di bawah Tsar daripada Lenin, itu menurutku. Sinar matahari tidak sampai ke kantor kerjaku yang hanya terdapat satu tingkat plus satu tingkat ke bawah sebagai ruang bawah tanah. Kantor itu tidak pernah didatangi para kriminal karena penjagaannya ketat. Tidak ada pula instansi pemerintah yang nampak peduli pada hal ini. Selain karena kami tidak menimbulkan kecurigaan, juga karena mereka lebih peduli bagaimana cara merampok kekuasaan yang sedang luntang-lantung ketika perubahan besar terjadi.

Selebaran koran hari ini masuk ke dalam slot kecil di pintu masuk. Nikolai segera berlari menuju pintu kemudian dengan semangat mengacung-acungkan koran harian itu.

“Ayah…! Koran hari ini, koran….”

Suara nyaringnya menggema ke seluruh ruangan, anak berumur 10 tahun itu kemudian menghampiri saudara kembarnya yang sedang asik terduduk sambil berusaha mengunyah bulka di dalam mulutnya.

“Yoru..Yoru, lihat ini!” Nikolai menyebut saudaranya dengan nama orang Jepang yang diberikan oleh seorang ‘kerabat’ Sky yang juga menyebut kami dengan nama Jepang buatannya.

Sky segera mengkoreksi sebutan itu, “Jangan panggil saudaramu dengan nama itu, Nikolai!” Kemudian menaruh bulka bagian Nikolai di atas mejanya sambil menyuruhnya untuk duduk.

“Kenapa, bukankah Sky juga dipanggil dengan nama Sora?” si anak bertanya lagi, kini sudah siap dengan bulka di tangannya.

Baru saja hampir menyuapkan makanan itu ke mulutnya, si kembar yang satunya lagi segera menyahut dengan nada bicara yang tenang, “Tidak sopan,” ucapnya singkat. “Panggilan itu hanya antara kita saja kan?” kemudian disusul dengan senyum jahilnya.

“Ah….” Sky mengangguk-angguk seakan lebih setuju dengan pendapat Fyodor. Barangkali banyak hal yang kulakukan padanya telah mengubah sedikit pandangannya tentang ‘orang Jepang itu’.

Pemuda manis itu menaruh secangkir teh di sebelah tangan kananku. Wajahnya yang pucat tersenyum manis ketika aku berusaha mengintipnya dari balik kacamata bacaku. “Terimakasih,” ucapku ringan kemudian mulai mengaduk-aduk tehnya dengan sendok kecil yang diletakkan di samping cangkirnya.

Sky adalah adik sepupu dari pamanku yang statusnya ditukar dengan adik kandungku, Vega. Walau sebenarnya aku lebih menyukai adik perempuan pada awalnya, namun Sky yang seorang bocah laki-laki malah tumbuh semakin manis, semakin mirip dengan Vega sehingga mereka nampak seperti dua orang gadis kembar.

Akan tetapi, bukan hanya itu permasalahannya. Merawatnya sejak ia lahir hingga saat ini banyak membuatku ketergantungan pada anak ini. Ia terlalu baik dan tidak suka merepotkan orang lain. Sky memiliki pribadi yang baik sehingga dengan tega aku menggunakan dirinya sebagai media percobaanku terhadap obat-obatan. Aku mematikan antibodi dalam tubuhnya kemudian dengan sengaja memasukkan bibit penyakit untuk kuketahui seberapa manjur obat-obatan yang sudah kubuat. Ini seperti halnya melakukan percobaan pada tikus atau kelinci, tapi yang kulakukan adalah mengganti media percobaan dengan manusia agar hasilnya lebih akurat. Hal itu terjadi hampir 5 tahun lamanya, sejak aku kembali ke Rusia, sejak aku mulai mengenal obat-obatan terlarang, hingga berurusan dengan berbagai macam penyakit yang belum pernah ditemukan obatnya. Aku berupaya untuk bisa menemukan vaksin anti virus-virus tertentu. Dan untuk itulah aku membutuhkan keberadaan Sky sebagai media, yang bagusnya ia selalu bisa menerima bahwa dirinya kini dijadikan kelinci percobaan oleh tukang obat sepertiku.

[...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar