Kamis, 23 September 2010

Remake - 1918 (part III)

Fyodor dan Nikolai menyelesaikan sarapannya. Mereka terlatih untuk segera membawa piring bekas makannya ke tempat pencucian. Ini yang dinamakan mendidik, Alexa benar-benar mendidik mereka dengan sangat disiplin sebagaimana pribadi dirinya. Kadang sulit kubayangkan jika kedua anakku ini pernah dibesarkan oleh Alexa si gadis bermulut pedas yang sudah nampak seperti ibu tiri bagiku.



Sejak kembali ke Rusia juga kedatangan Fyodor dan Nikolai, hubunganku dengan keluarga Smirnov mulai merenggang. Padahal aku ingat memiliki banyak hutang ketika masa pendidikanku dahulu pada keluarga yang sudah kuanggap sebagai kerabat sendiri. Aku yakin, kini si nenek tua yang selalu menimang Sky ketika aku pulang kuliah bersama Alexa masih berdiam di kursi goyangnya sembari menimang anak lain, yah… itu keinginanku kini, berharap mereka semua masih diberi kehidupan seperti apa yang Zakya katakan tentang hidup.

Suasana pagi kota St. Petersburg berubah drastis ketika bunyi gemuruh para kaum revolusioner mulai meneriakkan yel-yel pembangun semangat mereka. Beratus-ratus warna merah tanda kebangsaan kami dikibarkan di sepanjang jalan. Namun yang kulakukan setelah menghabiskan sarapan pagi itu hanya kembali memakan jas putih tanda kebesaranku sebagai tukang obat dan bersiap untuk penelitian berikutnya.
Jam-jam menjelang siang seperti ini, biasanya Fyodor dan Nikolai kusuruh untuk belajar membaca dan menulis tulisan Rusia. Bagaimanapun walau besar di sekeliling orang Rusia, namun keduanya tetap tinggal di negeri asing. Bahkan bahasa Rusia yang mereka bisa hanya bahasa yang biasa dipakai oleh para turis. Selebihnya adalah bahasa Perancis yang sangat lancarnya berbeda denganku yang sampai saat ini masih tidak bisa membedakan bunyi ‘aim’ dan ‘eim’ dalam pelafalan bahasa Perancis.

Namun di pertengahan musim dingin seperti ini, anak kecil mana yang mau disuruh mendekap kedinginan di kamar mereka sambil mengulang-ulang pelajaran baca tulis yang membosankan. Keduanya berlarian melintasi ruang tengah setelah Sky mengajarkan mereka bagaimana cara membuat burung-burungan dari kertas. Nampaknya adikku yang satu itu banyak belajar dari kenalannya si Jepang.

Awalnya aku tidak ambil peduli, namun ketika Nikolai menerbangkan burung-burungannya dan memantul tepat di kacamataku semuanya berubah. Anak-anak itu jelas tahu bagaimana tempramennya aku di musim dingin. Si kembar segera saling bersahutan berbisik, “Awas, ayah pasti marah… bagaimana ini…” mereka mencari cara untuk menenangkanku. Tapi yang kulakukan hanya diam memperhatikan mereka tanpa berbicara sepatah katapun.

Suasana mendingin bak di luar ruangan. Hingga si pencair suasana, Sky kembali berbicara. “Tidak apa-apa, mereka hanya main-main saja.” Sambil memandangku, ia berusaha mencuri perhatian agar aku memperhatikan kedua anak yang semakin merapat padanya.

Hatiku luluh jika Sky sudah berbicara, bagaimanapun ia adalah harta karunku, rasanya aneh jika selama ini aku yang berbuat salah tiba-tiba menyalahkannya. “Baiklah… baiklah… tapi jangan diulang. Sekarang sebaiknya kalian masuk kamar dan berlatih membaca lagi.” Aku mengibaskan tangan kemudian meraih kacamataku yang baru saja tertabrak seekor burung kertas.

Kedua anak itu nampak tersenyum. Aku berusaha tidak memperhatikannya, namun tingkah mereka begitu polos… anak-anak yang terlahir di jaman yang salah. Seharusnya mereka lebih banyak bermain di luar dan tidak lagi merasakan kerasnya kehidupan anak-anak seperti yang aku dan Sky alami.

///


Banyak yang terjadi di kancah perang revolusi. Ini dan itu semua berantakan nampaknya. Tidak ada keamanan, tidak ada kenyamanan, semua yang ada hanyalah kecaman. Deru mesin membumbung tinggi setiap harinya di atas awan. Apa yang terjadi setelah itu? Tidak ada yang tahu dan yang mau tau. Bahkan revolusi ini telah menumbangkan Tsar, menjadikan istananya tidak lebih seperti puing penjara yang tiada berharga. Aku sempat menyaksikan peristiwa itu, namun segera berlari memasuki rombongan pengungsi jika tidak ingin ditembak mati.

Sebenarnya apa yang terjadi? Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Mesin penghasil uang tidak lagi dicetak sembarangan hingga krisis terjadi di mana-mana. Musim dingin salju menumpuk, malam sangat lama hingga bisa saja orang berkebun di malam hari. Jika seperti ini mana ada sayuran atau buah yang masak, ini sama saja dengan kekeringan atau banjir bandang. Menderita.

Maka jika ada yang bertanya ‘Tuan Mikhailov, apa pekerjaan Anda?’ jawabku adalah pegawai apoteker yang membuat obat. Obat, obat, dan obat. Jenis zat adiktif sekarang sedang trend, dengan ilmu membuat obat yang kumiliki mereka bisa membayar mahal. Tapi aku tetap miskin. Seorang ayah dari dua orang anak, seorang kakak dari seorang adik angkat, sulit sekali untuk membiayai hidup seperti ini. Serba kekuranga, semuanya kurang karena semua uang yang ada kugunakan untuk biaya penelitian.

Sebenarnya apa ini? Pembuatan zat adiktif lagi? Bukan. Ini semacam vaksin, vaksin yang pernah ditemukan oleh orang Rusia lainnya untuk membunuh virus mozaik tembakau. Nanti sepuluh atau lima puluh tahun lagi vaksin bukan lagi menjadi barang langka melainkan kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, di jaman yang rusak seperti sekarang ini, vaksin adalah temuan langka, harganya bisa berjuta-juta kali lipat daripada pembuatan zat adiktif perusak.

Anak-anak tertidur, masih tengah hari tapi udara semakin mendingin saja. Perapian dinyalakan, Sky melipat baju, bukan lipatan rapi tapi lumayan, ia memang paling tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sesekali ia terbatuk, musim dingin memang bisa membunuhnya seperti peristiwa beberapa tahun yang lalu yang hampir membuatku menyerah atas segalanya.

Aku sendiri masih sibuk menghitung-hitung kadar ini-itu, menimbangnya, menghitungnya lagi, kemudian mencatat apa-apa yang kutemui. Setidaknya dari 5 tahun bergulat dengan percobaan ini-itu akhirnya aku bisa membuat sebuah obat, yah hanya obat semacam pereda panas dan khususnya obat untuk Sky. Penyakitnya kini bukan suatu penyakit yang tiba-tiba ada, namun lebih ke penyakit yang ‘disengaja’ ada olehku. Penyakit ini membuat kesehatannya rusak, seperti mudah terserang penyakit lainnya, rentan terhadap udara dingin, yah banyak semacam itu, perpaduan banyak jenis penyakit nampaknya.

Di saat-saat krisis seperti ini biasanya ada si bocah Jepang itu, yah biar dikata kalau sekarang sih sebutanya bukan bocah lagi. Dia adalah Arthem Seravine, itu hanya nama yang dibuat-buat saja sebenarnya nama aslinya adalah Fuu Ryuuki, makanya kusebut si bocah Jepang. Tidak banyak yang kutahu tentang dia, toh aku tidak peduli. Tapi si Jepang ini sudah banyak membantuku, khususnya dalam menangani kasus Sky. Yah, mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil dan dia adalah satu-satunya teman dan teman satu-satunya yang Sky miliki, miris memang karena adik angkatku itu tidak pernah mengecap bangku sekolah atau bersosialisasi dengan orang seumurnya. Itu semua karena ulahku.

Sebenarnya bukan niatku untuk terlalu berharap pada si bocah Jepang itu. Ia yang datang ke rumah ini, ikut mengurusi Sky dan jadi tahu segalanya tentang kondisi kami. Bagusnya sebagai sahabat yang baik tidak pernah sekalipun Ryuuki mengadukan apa yang terjadi pada Sky ke kepolisian atau siapapun di luar lingkup keluarga kami. Yah, setidaknya aku bisa menganggapnya dapat dipercaya sebagai seorang rekan.

Lalu apa yang kiranya sedang ia kerjakan sekarang, padahal aku sedikit membutuhkannya, setidaknya untuk bantu mengurus anak-anak di saat aku sibuk dengan urusan Sky. Aku tidak tahu walau agak peduli. Bocah, ya sekarang bukan bocah tapu untukku tetap bocah, itu bekerja sebagai seorang musisi. Katanya ia mengurus teater di Moskwa bertanggung jawab dengan sekolah seni, dan mengikuti beragam lingkup kegiatan di universitas... apalah yang ia kerjakan pasti selalu berhubungan dengan musik atau seni apapun jenisnya. Yah mungkin saja saat ini ia sedang sibuk dengan urusannya, bukan pekerjaanku juga untuk memaksa-maksa orang. Tapi memang biasanya bocah itu selalu datang di musim dingin karena ia tahu apa yang terjadi di musim ini.

...

Siang dengan cepat berganti malam. Sejujurnya aku malas menghadapi waktu yang bergulir cepat semacam ini, mengapa? Karena aku tahu bahwa tidak ada yang kukerjakan pada hari ini, tidak ada sesuatu yang bermanfaat atau hal baru yang kutemukan pada saat matahari berada di puncaknya hingga ia kembali terbenam. Rasanya pilu mendengar berita di koran, radio, beragam media semacam itu. Takut, kekangan dan air mata darah membayangi tanah kelahiranku ini dengan berbagai macam gempuran politik. Oke, apalah itu politik? Mereka hanya berbagi kekuasaan dengan cara yang aneh, satu teori membuat seluruh dunia gusar, dan satu kata lantang membuat dunia bergerak. Bahwa ini adalah awal dari sebuah pertempuran besar.

Deru pesawat terbang membuat malam bagi anak-anak seperti Fyodor dan Nikolai tidak tenang, mereka terbayang akan gelimpangan darah yang ditemukan di laboratorium bawah tanah rumah ini. Tenang... aku tidak membunuh apapun, itu juga bukan darah tikus atau kelinci percobaan. Itu adalah Sky yang berjuang keras di sana mempertahankan kehidupannya lebih dari apapun, lebih dari setahun silam semua hal yang kelam terjadi dan dalam waktu yang telah lama sebuah revolusi turut terjadi. Hentakan dan dentingan benda-benda medis di ruangan itu membuatku ngeri, ketika seorang bocah yang kuketahui selama ini memberontak dan mempertanyakan arti hidupnya. Itulah saat di mana aku sedikit tahu apa kesalahanku.

Bisakah kau menghargai dirimu dan sekitarmu, tuan Mikhailov?

Dan deru napasnya adalah hal paling mengerikan yang pernah kudengar setiap malam. Jauh lebih mengerikan daripada deru pesawat terbang yang membuat anak-anak bersembunyi di balik selimutnya.

“Tidak tidur?”

Malam ini listrik padam lagi. Sambil membawa sebatang lilin Sky memergokiku sedang membaca buku di ruang makan. Tidak bisa tidur sebelum menemukan hal baru, itu instingku sebagai seorang pembuat obat, atau bahasa yang lebih bagusnya, ilmuan. Hanya menghela nafas sekaligus menggeleng pelan, melanjutkan buku paramedis serta aturan farmasi yang bergelimpangan di meja makan. Aku tahu, Sky pasti ikut menggeleng melihat tingkahku, bukannya ia telah terbiasa?

“Tidurlah duluan,” ucapku padanya kemudian. Tidak bisa membiarkan ia tetap berdiri terus di sana selagi udara dingin terus bersemayam di tempat ini. Tidak bisa membiarkannya menderita lebih jauh dengan kondisinya yang seperti ini.

Sky mengangguk dan malam panjang terlewati dengan cepat. Sangat cepat hingga tidak kusadari bahwa malam itu tertidur lagi dengan kepala bersandar pada meja di atas tumpukan buku.

///

Tidak ada komentar:

Posting Komentar