Sungai Wolga membeku, aku hanya termenung dalam sekoci berpura-pura menjadi seorang dokter dan tenaga medis untuk perang. Menolak namaku sebagai Mikhailov. Perang telah berakhir, kami beristirahat sejenak di pelataran, aku membantu orang-orang dan para tentara yang terluka, berusaha berharap bahwa mungkin di tempat itu dapat menemukan sanak saudaraku yang hilang. Berharap setidaknya ada yang tahu kabar mereka di sana.
Mungkin setelah ini akan banyak pertanyaan yang tertuju padaku. Pertama, pertanyaan mendasar yang akan ditanyakan adalah, mengapa keluarga Anda sangat santai padahal ini adalah zaman perang? Jawabannya, yah untuk apa aku sibuk mengurusi perang? Banyak hal lain yang bisa diurus di zaman semacam ini. Si penanya akan kebingungan seraya mengerutkan dahi, ia lalu melontarkan pertanyaan lainnya, lalu bagaimana bisa pemerintah dan kaum revolusioner membiarkan Anda tetap berada di dalam rumah dan sama sekali tidak memaksa untuk turun dalam pertempuran? ... Terdiam sejenak, jawabannya sudah jelas kan, karena justru mereka yang membayarku untuk tetap berada di sini, membuat beragam macam obat untuk kebutuhan pribadi. Menyembunyikan keberadaan rumah di sudut gang itu dan tidak membawanya masuk ke dalam konflik apapun.
Tapi yah, begitu. Pada akhirnya ada kaum yang kontra dengan pengilegalan obat kemudian dengan dalih perang lantas membakar habis tempat tersebut. Ironis memang, tidak ada yang mereka tahu aset apa saja yang ada di sana, kenangan apa saja yang kami punya, dan yang terpenting adalah tidak ada lagi tawaan anak-anak yang baru saja kudengar beberapa tahun yang lalu. Semua lenyap bersamaan dengan hari itu. Hari di mana kami saling lepas dari pegangan masing-masing.
...
Lariku tidak begitu kencang, masuk ke gang-gang perumahan di sudut kota yang sangat sepi. Penduduk setempat pasti sudah diungsikan karena tempat ini turut diserang oleh kawanan sekutu atau dijadikan markas umum–entahlah, apapun itu tidak masalah. Satu hal yang pasti adalah, mereka tidak pernah menganggapku sebagai kawanan lagi. Tidak dengan sekutu, kaum revolusioner, ataupun para pembela tsar. Jalanan putih berubah merah, atau coklat, atau warna lain yang menjadikannya tampak lebih eksotis, memukau, dan kacau. Jalanan ini dipenuhi genangan darah dan air mata, dimana tidak seorangpun dapat lari darinya. Lari atau mati? Semua sama.
Mulai hari itu, nama Deniska Deuzewich Mikhailov menjadi nama orang yang paling dicari di seluruh negeri ini. Alasannya, tentu karena ia dituduh menggelapkan uang negara untuk kepentingan perang demi penelitiannya dan untuk obat-obatannya. Nama Sky Lavrich Mikhailov turut terseret dalam kepentingan busuk ini. Tidak tahu dugaan apa yang dilemparkan padanya, aku hanya tidak suka mereka turut menampang nama itu di mana-mana, dan mencarinya seakan mereka tahu siapa itu Sky. Tentu mereka tidak akan tahu, Sky tidak pernah keluar dari rumah jika bukan karena kepentingan tertentu. Isolasi dalam kehidupannya membuat tidak ada yang tahu siapa itu Sky, bagaimana rupanya, bagaimana sikapnya, bahkan siapa dirinya.
Bagus, semua berjalan sesuai keinginanku. Setidaknya, satu-dua hal sudah bisa teratasi. Sky... entah apa yang terjadi padanya. Kuharap ia bisa lari dari tempat itu sebelum dirinya tertangkap atau mati di tempat. Anak-anak itu juga, kuharap mereka baik-baik saja, mencari siapapun atau bagusnya jika ada Alexa yang datang ke kota itu untuk menyelamatkan keduanya. Siapa saja, tolong selamatkan mereka hingga aku bisa menepati janji kami untuk bisa bertemu kembali.
...
Aku bersembunyi di gang-gang perumahan berdempet yang ada. Di sela-sela tumpukan balok kayu rapuh yang biasanya dijadikan tempat penyimpanan bahan makanan di musim dingin. Musim yang sangat dingin dimana waktu malam berjalan lebih lama dari biasanya, malam yang selalu datang tanpa diundang. Matahari surut dan aku terkekang dalam kesendirian. Udara mengepul dari tiap helaan nafasku. Rasanya lelah ketika diam setelah berlari jauh. Bahkan kini aku tidak mengenal tempat dimana aku bersembunyi saat ini. Berpikir apakah aku sudah menjauhi tempat itu, atau aku hanya berlari-lari di tempat saja?
Kepingan salju itu kembali jatuh dari langit yang menjadi gelap. Perlahan rasa lelah itu kembali menyambarku, mulai dari ujung kaki yang mendingin, hingga ujung rambut yang membeku. Rasanya kacau, rencana yang sudah kususun matang sejak dulu menjadi runyam dan akhirnya gagal, terhenti sampai di sini. Masih adakah harapan? Pertanyaan rentan yang entah dapat ditemukan di mana jawabannya. Kuharap ada jawaban, setelah hari ini, besok, atau kapanpun itu, kuharap akan ada sesuatu yang bisa kuanggap sebagai jawaban.
///
Pagi datang? Tidak... hanya kilapan dari petromak yang disadurkan di hadapan wajahku yang kemudian membuatku membuka mata. Sebuah mulut senapan mengarah di kepalaku, spontan terkaget aku hanya metap para pionir negara itu dengan mata terbuka, menganga. Kaget. Mereka menemukanku atau...
Bukan, itu bukan mereka. Tidak tahu siapa, tapi mereka tidak mengenalku dengan pasti, hanya mengira aku adalah salah satu korban perang. Oh ya, namaku mungkin beredar luas tapi tidak dengan wajah yang selama ini tersembunyi di balik laboratorium. Begitu mereka bertanya siapa namaku, maka kujawab dengan spontan, “Yura.”
Yura
Itu adalah nama yang spontan bergema dalam pikiranku. Setengah tidur mendengarkan petugas patroli gemuk yang tidak terlihat wajahnya karena sinar dari petromak. Ia berbicara sambil mengapit cerutu di mulutnya dan kemudian menyeretku menuju tempat penampungan. Oh, sudah berapa lama rupanya aku berada di dalam sana, semalam? Semenit? Sejam? Atau... dua hari. Tepatnya dua hari, malam itu aku hanya berlari-lari, agak jauh dari komplek rumahku. Merasa lelah dan kemudian tanpa sadar terduduk di sebelah kotak kayu tempat menyimpan bahan makanan di musim dingin. Tertumpuk di antara salju dan mungkin seharusnya sudah mati kedinginan. Ah, waktu yang berjalan lama... padahal aku hanya merasa baru sebentar saja terlelap, namun rupanya dua hari sudah terlewati.
Masa perang agak sedikit senggang. Ini mungkin namanya jam istirahat sehingga tentara atau petugas patroli hanya berkeliling mencari korban terluka di sana-sini lalu membawanya ke shelter penampungan kami di gedung bekas sekolah. Gedung yang kumuh, bau, dan berantakan. Aku dibawa ke sana, tanpa sadar dan begitu bisa mengingat kembali, seorang nenek tua tanpa gigi menyodorkan sup ke hadapanku.
“Makanlah anak muda,” berucap sambil menggetarkan tubuhnya. Ia sama kedinginan namun tetap tegar memberi makan yang lain.
Aku hanya bisa menatapnya begitu saja. Tidak mengucapkan terima kasih atau menyunggingkan senyum. Mata merahku mungkin terlihat tidak nyaman dengan keadaan di sana, terus bergerak menelusuri ruang yang ada, mencari-cari sanak saudaraku. Adakah Nikolai atau Fyodor di sana? Atau Sky di sana?
Brutal rasanya ketika memikirkan itu. Langkah kakiku tidak membawa ke tempat seharusnya. Otakku memerintahkan lebih baik mencari keluarga kecilku daripada memakan sup itu. Sup yang akan berasa hambar tanpa ada candaan anak-anak atau keluhan dari adik. Baru dua hari, terasa sebentar namun tetap lama. Entah mengapa aku merindukan mereka seperti aku merindukan Zakya yang telah hilang bertahun-tahun silam.
...
“Apa kau melihat anak kembar laki-laki, berambut pirang keabuan, setinggi ini...?”
Aku melantunkan pertanyaan macam itu kepada tiap orang yang kutemui di shelter penampungan. Kebanyakan dari mereka segera menampik pertanyaan tanpa aku sempat menyelesaikannya. Rasanya hampir putus asa, anak-anak itu tidak kutemukan dimanapun, tidak di sini atau di sana. Tidak ada di mana-mana, di seluruh tempat yang telah kudatangi.
“Kau tidak pernah memakan supku, anak muda,” si nenek bergigi ompong menyodorkan mangkuk sup itu ke hadapanku. Mataku hanya berkilah memandangnya sesaat kemudian melemparkan pandangan ke arah lain. Bukan aku tidak lapar, tapi pikiran demi pikiran ini membuatku lupa dengan yang namanya rasa lapar.
Tidak hanya satu kali, tiap jam makan dua kali sehari–atau terkadang sekali–si nenek terus menawariku makanan. Itu makanan orang sakit dan sesungguhnya aku tidak sakit. Jika saat ini juga pemerintah atau aparat setempat menginginkan aku ikut dalam wajib militer maka aku tidak akan pernah keberatan walau malas melakukannya. Namun sayangnya anggapan aku adalah orang sakit masih ada. Seorang dokter relawan memeriksa tensi darahku dan mengatakan aku tidak sehat. Benarkah? Sok tahu dia, padahal aku lebih tahu tentang kesehatan diriku karena inilah yang kulakukan tiap harinya.
Dokter itu bernama Kylan Kharisteria. Ia orang Inggris yang menjadi relawan datang ke St. Petersburg demi menyelamatkan ratusan jiwa yang menjadi korban perang. Di antara ratusan itu ada aku yang tidak sakit, berarti pasiennya berkurang satu walau tetap saja dokter kurang kerjaan ini menganggapku sakit.
“Tekanan darahmu rendah sekali, kalaupun ikut wajib militer, yang ada kau akan pingsan ketika disuruh berbaris,” ia mengejekku. Orang ini tidak melihatku sebagai pasiennya, ia seperti orang yang tahu bahwa ada sebuah masalah yang kupendam dan aku rasa orang ini juga tahu bahwa aku bekerja di bidang medis sama seperti dirinya.
Orang ini, bagiku menakutkan karena ia bisa tahu segalanya melalui pandangan dibalik dua mata yang saling berbeda. Ia nampak bisa membaca pikiran kosongku.
///
Tidak ada komentar:
Posting Komentar