Grak!! Grak!!
Tidak ada yang kutahu tentang bunyi itu, hanya sebuah kilasan di mana kami kembali berlari setelah bertahun-tahun beristirahat di tempat ini. Dinginnya Sungai Wolga yang membeku mungkin menjadi pengingat bagiku bahwa si penyihir yang terkenal itu mati ditenggelamkan. Apakah aku juga? Seorang pendosa yang telah membunuh saudaranya sendiri? Yang telah membiarkan anak-anaknya saling membunuh? Yang bisa hidup setelah beragam penderitaan dari orang-orang di sekitarnya? Maka bunuhlah aku dengan cara yang sama dengan mereka yang kalian bunuh. Tuan putri yang menjerit atas pemandangan di sekitarnya dan pangeran kecil yang menangis merangkul tangan ayahnya.
Atau ini adalah kesempatan? Hidup adalah kesempatan?
///
“AYAH!!” suara lentingan anak-anak. Ck apa yang mereka mau? Bukankah keduanya telah tenang dan kusuruh untuk diam di kamarnya. Mengapa rasanya terdengar bahwa mereka menggedor-gedor pintu ruangan ini. Suara panik yang lebih dari biasanya diiringi dengan suara-suara lain di sana.
Sesuatu terjadi? Pasti sesuatu telah terjadi. Cepat-cepat kubuka pintu dan anak-anak segera melompat merangkul pinggangku dengan tatapan penuh rasa takut. “Orang-orang itu menyerang kita!” melaporkan penuh tangis. Saling bergantian ketika meluapkan rasa takutnya.
Orang... orang mana yang mereka maksud? Para polisi itu atau tentara militer atau kaum revolusioner? Yang mana? Yang pasti mereka mengganggu tatanan rumah ini, maksudnya mereka berniat menyerang. Ruang sembunyiku sudah diketahui kah?
Cepat-cepat kutarik kedua anak itu masuk ke dalam, mengunci pintunya dan menahannya dengan benda apapun yang bisa membuatnya tertutup. Untungnya laboratorium ini adalah ruangan bawah tanah, tanpa celah untuk bisa memasukan siapapun ke dalam selain melalui pintu. Lebih bagus lagi adalah bahwa di tempat ini ada pintu cadangan untuk kami bisa kabur ke luar tanpa melalui ruangan atas. Buruknya adalah, tidak ada perbekalan yang bisa kami bawa jika kami keluar lewat jalan ini, dan... harus ke mana kah kami pergi?
“Sky!” anak-anak berangkulan dengan sang adik yang masih terbaring di atas sana. Sekarang pikiranku bercabang. Mana yang harus kudahulukan? Penyembuhan Sky atau kabur? Mana... yang mana... kenapa semua ini membuatku berpikir lebih rumit dan menuntut agar aku berpikir lebih cepat? Karena rupanya para penyerang itu sudah mengetahui tempat persembunyian kami. Mereka seperti memaksa untuk membuka pintu yang ada.
“Kak,” suara kecil membangunkan lamunanku atas pemikiran runyam ini. “Kita harus pergi, mereka pasti sedang mengobrak-abrik rumah ini untuk mencari penghuninya. Mereka bisa membunuh kita semua,” ucapan dari seorang yang untuk berdiri pun rasanya tidak akan sanggup. Namun ucapan itu benar, kalau tetap bertahan di sini kami semua bisa mati terbunuh, orang-orang revolusioner adalah orang gila yang tega membunuh siapapun yang dianggap tidak perlu ada.
Jadi... kami kemudian terus berlari.
Tidak ada makanan di tempat ini, tidak ada perbekalan apapun, bahkan tidak ada mantel untuk menutupi diri dari badai salju dan selimut tebal di luar sana. Bisa dibilang ini masih pagi, namun suasana temaram membuatnya sendu menjadi malam. Langit yang gelap dan kepulan asap membuat langit tidak lagi berpihak pada siapapun. Sebentar lagi ia akan mengamuk, memporak-porandakan isi bumi yang sedang kalap saling menyerang ini.
Tidak ada yang bisa melindungi kami di luar sana. Tanggung jawabku berat karena harus menyeret satu orang sakit serta dua orang anak dari tempat ini. Benar kan, jika ada si bocah Jepang itu, semua akan terasa lebih mudah, setidaknya aku bisa menitipkan Sky padanya sementara kedua anak ini bersamaku. Ah, lupakan itu, Deniska. Sekarang bukan saatnya untuk berkhayal, ini saatnya untuk berpikir. Bagaimana cara melindungi bebanku ini agar setidaknya mereka selamat.
Akhirnya mengambil tindakan. Sebuah selimut yang agak tebal untuk Sky, ia perlu sesuatu semacam ini. Sementara kedua anak ini, tunggu, rasanya aku pernah menyimpan mantel anak-anak di sekitar sini. Benar, benda itu ada di lemari, sengaja di simpan atau tanpa sengaja tersimpan di sana, entah ini ulah siapa, mungkin Sky yang melakukannya.
“Pakailah ini dan ikuti aku,” memberikan mantel-mantel itu pada yang bersangkutan kemudian mendorong si kembar untuk berjalan terlebih dahulu ke area labirin bawah tanah. Jalanan macam itu ada di rumah ini, yah memang, rumah yang dirancang khusus mungkin pada zaman dahulu untuk sesuatu hal, entah apa itu yang pasti sangat berguna sekarang.
Aku berjalan di belakang, mencari barang lain yang mungkin kami butuhkan. Botol air, beberapa obat-obatan, juga senjata api. Ini dibutuhkan untuk melindungi diri, bagaimanapun aku harus melindungi mereka. Setelah semua beres kemudian aku memapah Sky untuk menyusul si kembar yang telah berjalan lebih dahulu.
Labirin yang tidak begitu panjang namun cukup berliku. Intinya tinggal ikuti jalan setapak dan jangan mencoba untuk berbelok atau kau akan tersesat di sana. Kami berjalan perlahan setelah mengunci pintu terakhir menuju kembali ke laboratorium itu, sebuah ruangan yang kini terperangkap dan selamanya kami tidak akan pernah bisa kembali ke sana.
Kami berjalan perlahan, suasana sepi dan semakin dingin karena labirin ini langsung mengarah ke luar, di mana salju pasti bertumpuk di atas sana. Secercah cahaya kemudian terlihat dari balik puing kayu, sebuah dunia luas ada di luar sana. Langkah terhenti, anak-anak, Sky dan aku sama-sama terdiam. Kami mungkin berpikir setelah ini tidak ada lagi waktu istirahat, tapi kami tetap harus melakukannya.
Satu tanganku bergetar di dalam saku menggenggam erat sang senjata api. Satu keputusan akan merubah segalanya, namun itu tetap harus dilakukan. Semoga kami selamat dan dapat berkumpul kembali dalam suasana yang lain.
“Nikolai... Fyodor...” kupanggil nama mereka, kemudian bersimpuh menyamakan tinggi. Menepuk kedua kepala itu satu-persatu, berulang kali kusebut nama Zakya dan memohon maaf padanya karena hanya sampai di sini ternyata usahaku sebagai seorang ayah. Bisakah aku menebus segala dosa ini?
“Kalian dengarkan,” ucapku lagi. Keduanya menoleh padaku dengan pandangan serius namun penuh kekhawatiran yang mendalam. “Kalian larilah terlebih dahulu, anak-anak diperlakukan lebih baik jika tertangkap. Dan seandainya itu terjadi... jangan pernah sebut namaku, jangan pernah sebut nama keluarga kita, dan bawalah ini,” ucapku sambil menaruh senjata api itu di tangan Nikolai. Si kecil yang manja ini lebih bisa membaca situasi, ia tahu apa yang harus ia lakukan jika keadaan mendesak. “Gunakan ini untuk melindungi saudaramu, dan teruslah berlari...” ucapan terakhir yang membuat air mata keduanya jatuh. Sejujurnya aku sendiri tidak bisa menahan perpisahan ini, ini bisa jadi terakhir kali kami bertemu setelah selama ini bersama.
“Tidak mau...” gelengan pelan dari Nikolai, menggenggam erat senjata api yang tadi kuberikan padanya. Ia kaku, terpaku, mungkin bingung, sebagian ekspresi wajahnya menggambarkan hal tersebut. Menyedihkan memang, dan aku turut bersedih atas itu.
Akhirnya kurangkul kedua anak itu dalam satu dekapan, padahal baru sebentar kami bertemu, baru sebentar waktuku untuk menebus segala kesalahan pada Zakya. Menyesalkan satu hal lagi, mengapa kami harus hidup pada masa sulit seperti ini?
“Tenanglah, kita pasti akan bertemu lagi,” menyunggingkan senyum palsu, menjanjikan sesuatu yang tidak pasti pada mereka. Menenangkan anak-anak ini. Mereka pasti bisa selamat, pasti. Rasanya pahit, berat, mereka masih sangat kecil, mengapa harus mengalami hal pedih semacam ini?
Satu jalan terbuka, salju yang menumpuk disingkirkan dengan tangan kosong. Dingin, bisakah mereka bertahan? Bisakah aku bertahan?
“Larilah!”
Derapan langkah tanpa alas kaki meninggalkan lorong, suara isak tangis Nikolai masih terdengar, dan pandangan mata tajam Fyodor masih terbayang di benakku. Rasanya aku ingin mati di sini saja, namun kalau aku mati, apa yang harus kukatakan pada Zakya di alam sana nanti?
“Kak?” sebuah suara yang sama, yang berulang kali membuatku menghadapi kenyataan dengan kepala dingin. Sky menepuk pundaku seraya tersenyum, “Berat, tapi keputusanmu adalah yang terbaik. Ingat,” berusaha meyakinkanku bahwa ini benar, bahwa tidak ada kesalahan di sini. Menyesal, seharusnya kurangkul anak-anak itu dan biarkan kami mati bersama, hingga nanti kami berempat dapat berkumpul bersama-sama lagi.
“Giliranmu,” ucapku. Merekatkan gumpalan selimut hangat padanya. Sky nampak telah berpasrah lebih dari yang kuharapkan. Ia sangat dewasa, sangat tenang dalam menghadapi tiap masalah. Ia tahu betapa runyamnya pikiranku, hingga bisa mengambil sikap tanpa harus menunjukkan rasa takutnya di hadapanku.
Ucapanku barusan rupanya ditampik dengan sebuah gelengan pelan, senyum tersirat di wajahnya yang tenang. Kemudian menyerahkan sesuatu di tanganku, “Aku akan mati... mungkin besok, lusa atau bahkan hari ini. Kakaklah yang harus bertahan, kita sama-sama berjuang sampai saat ini. Saat dulu kembali ke sini, kita sama-sama tidak memiliki apa-apa, ketika kakak menginginkan sesuatu aku tidak bisa mencegahnya. Namun sekali saja untuk saat ini, bertahanlah.”
Sebuah tabung berisi darahnya, yang menyimpan perjuangan kami selama ini, yang menyimpan penderitaan kami sampai saat ini, yang kini menyuruhku untuk bertahan dan melanjutkan. Sungguh, kali ini bukan Sky yang mengikutiku, tapi aku yang mengikutinya. Ia berbicara dengan tenang, seperti saat ini adalah musim semi yang hangat. Aku tahu betapa menderitanya ia saat ini.
“Kita akan bertemu lagi, pasti.”
Pasti...
Pasti, ya pasti...
Suatu hari nanti kami akan bertemu lagi, pasti...
Di sana kami berpisah, Sky tetap berada di labirin karena ia tidak bisa berlari keluar ruangan. Hanya terduduk di muka pintu menunggu ada yang menjemputnya. Aku, atau dewa kematian? Untuknya mungkin yang mana saja sama, karena selama ini yang kulakukan lebih kejam daripada dewa kematian sekalipun.
Inilah saat di mana aku berlari, terus berlari menapaki jalanan yang dingin dengan kaki tanpa alas. Menepis segala serangan dan apapun yang menghalau. Terus berlari, entah ke mana tujuanku yang pasti hanya terus berlari. Mereka mungkin menangkapku, tapi tidak bisa membunuhku. Tidak ada yang bisa kulakukan saat ini selain bertahan. Bertahan dan bertahan.
Bertahan.
///
Tidak ada komentar:
Posting Komentar