Kamis, 23 September 2010

Remake - 1918 (part IV)

Kata damai hanya ada bagi mereka, orang-orang yang menghisap cerutu sambil terduduk di atas kursi kayu mewah dengan sandaran terbuat dari kain terbaik. Kata damai hanya ada bagi mereka yang terus duduk merangkul tangan, bersimpuh meminta bantuan dari Dia yang dipercaya bisa menyelamatkan segalanya. Kata damai hanya ada untuk orang-orang yang berpasrah menunggu kematiannya. Ketika perang saudara kembali berkecamuk di tanah Tsar, ketika kekuasaan gaib telah membuahkan fenomena dalam sebuah kerajaan, ketika itulah saatnya kami berlari menuju dunia yang lebih luas.



Berita mengenai perang yang berkecamuk semakin panas saja terdengar di telinga. Satu lagi surat kabar harian pagi ini bercerita bahwa kawasan rumah penduduk tidak lagi aman, tentara sekutu bisa saja membumihanguskan semua itu dalam satu malam. Evakuasi mungkin dilakukan untuk anak-anak... hanya anak-anak, oh dan tentu para wanita. Namun apakah mereka juga akan mengevakuasi orang sakit? Maksudnya yah... yang sepertinya sudah tidak bisa berlari atau parahnya yang tidak bisa bangun dari tempat tidur? Kejadian seperti ini sudah berlangsung sekitar 4 tahun lamanya, entah mengapa rasanya dalam perang memang tidak ada pihak yang mau menyerah. Semua sama-sama keras kepala dan mengesalkan. Mereka bahkan membunuh kaum buruh wanita pada revolusi setahun yang lalu, sekarang apalagi yang mau mereka lakukan?

Dari sekian banyak hunian yang ada, mungkin hanya rumah yang berada di sudut lorong ini saja yang tidak terjamah, atau sifatnya sengaja tidak diperiksa. Jika ya mereka mengetahui ada seorang pria yang bekerja untuk kaum stres revolusionaris di sini, para polisi itu pasti sudah mengobrak-abrik tempat ini sejak dahulu. Mungkin lalu-lalangnya polisi dari hari ke hari lah yang membuat bocah Jepang itu sulit lagi untuk bertandang ke tempat ini. Seberapa jauhnya kah perjalanan dari Moskwa ke St. Petersburg? Dengan untaian rudal dan tembakan senapan, hal itu akan terasa lebih lama daripada perjalanan menuju Perancis.

“Mereka datang lagi?” Suara bening Sky membuyarkan lamunanku mengenai berita di koran.

Pagi ini saatnya morning tea, tertawalah karena aku tahu bahwa kami bukan keluarga kerajaan. Namun morning tea wajib dilakukan di rumah ini untuk mengecek keadaan tiap penghuninya. Nikolai dan Fyodor meminum teh mereka, tampak masih meringkuk, mengantuk dan merasa dingin. Pagi ini dingin, musim dingin luar biasa yang selalu terjadi tiap tahunnya di Rusia, bahkan orang Jerman pun tidak akan tahan dengan musim seperti ini.

Aku hanya memberi lirikan singkat, tahu siapa yang dimaksud datang pada pagi ini. Seperti biasa, mereka adalah para polisi militer yang berjaga-jaga di sekitar tempat ini. Menyuruhku untuk menemui mereka? Tch, ada apa gerangan dengan orang-orang sok sibuk itu? Tidak tahukah mereka bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang harus kulakukan di sini?

Kaki yang malas melangkah akhirnya menyerah, menuju pintu, membuka slot kunci yang membuat pintu tersebut tidak akan pernah bisa dibuka oleh siapapun dari luar. Sebuah tralis besi yang melindungi tiap lubang di rumah ini. Penjagaan super ketat untuk benda yang tidak pernah bisa mereka rampas. Bunyi berisik bergemuruh ketika tralis itu dibuka, melihat sosok polisi muda di sana memegang senapannya dengan wajah ketakutan namun tidak gentar.

“Apa?” tanyaku singkat. Orang Rusia biasanya sangat ramah pada tamu, tapi maaf saja hidupku besar di Perancis hingga hampir tidak tahu adat seperti itu. Perlakukan tamumu seperti orang asing, jangan biarkan mereka mengacak-acak daerah kekuasaanmu sendiri.

Polisi muda ini nampak ragu, takut, gugup, atau apa? Takutkah ia menghadapi warga sipil yang sama sekali tidak memiliki senapan panjang di rumahnya – mungkin menurutnya – lucu sekali polisi Rusia jaman sekarang. Apa yang mereka takuti? Kaum revolusioner? Lenin? Tsar? Siapa? Sang officer melirik ke arah lain sebentar sebelum melayangkan pandangan ragu ke arah lensa mataku. Menunggu jawaban, agak kesal dengan sikap seperti ini.

“Apa?!” Gertakku sekali lagi. Ketiga kalinya akan kututup pintu ini dan tidak akan pernah membukanya kecuali jika pasokan bahan makanan habis. Ah, jadi mengingatnya kalau memang bahan makanan sudah menipis di sini. Si bocah Jepang itu tidak pernah datang lagi sejak awal musim dingin tahun lalu. Sial.

“Sebaiknya Anda mengungsi tuan, perang saudara berkecamuk dan...” merasa takut dengan sesuatu? Apa? Apa yang terjadi dengan tuan officer satu ini. Ia nampak lain dari polisi yang biasa mengunjungi tempat ini. Adakah yang membuatnya ragu untuk tidak berbuat.

Aku memperhatikannya, sedikit bingung dengan kelakuan pecundang polisi satu ini. Takut apakah ia? “Kalau soal pemberontakan kaum Bolsheviks aku sudah tahu, sampai rumah ini hancur aku tidak akan meninggalkannya.”

Grak!

Setelah ucapan itu aku menutup pintunya rapat-rapat. Tidak usah memperdulikan orang macam itu, yang takut digertak, gertakan kecil yang...

“AYAH!!” sebuah teriakan terdengar dari ruang makan. Anak-anak itu? Apa lagi dengan mereka? Gertakan lain kah? Lengkingan suara itu mempercepat langkahku menuju ruangan yang ada, menemukan anak-anak berkerumun mengelilingi Sky. Oh, bagus pasti sakitnya kambuh lagi. Terlihat  dari bercak darah yang menggenang di lantai sementara badannya yang ringkih terduduk di sana.

Segera menghampirinya, memeriksa keadaannya dan menyuruh anak-anak untuk menyingkir. Tidak baik mereka melihat kejadian seperti ini, khususnya untuk Fyodor yang hampir pernah dijadikan percobaan macam ini. “Masuklah ke dalam kamar kalian!” perintahku cepat, anak-anak tidak boleh dipusingkan dengan hal semacam ini.

“Tapi Sky?” Nikolai nampak meragukan perintah karena khawatir dengan pamannya. Tindakan polos anak-anak, aku tahu karena dulu Fyodor pernah melakukan hal yang sama. Untuk meyakinkan si kembar adik ini bahwa tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan, aku hanya memberikan lirikan pada sang kakak, memintanya untuk membawa adiknya menjauh dari tempat itu.

Untungnya Fyodor jauh lebih dewasa dan mengerti keadaan dibandingkan sang adik, hingga ketika mendapat instruksi seperti itu ia segera menarik Nikolai menjauh, naik ke atas tangga menuju kamar mereka di lantai 2. Baguslah, anak-anak sudah semakin mengerti kondisi ayah mereka, setidaknya ini akan lebih mempermudahku dalam mengambil tindakan ke depannya nanti.

Kembali pada masalahku, masalah Sky... selalu begini rupanya, musim dingin benar-benar menyakitkan untuknya karena udara dingin yang menembus paru-paru seperti sebilah pedang, menghancurkan butiran alfeolus dan memaksa cairan pekat itu naik ke rongga yang lain dan memuntahkannya. Mengerikan, sejujurnya saat seperti ini adalah pemandangan yang paling mengerikan yang pernah aku lihat, beberapa tahun yang lalu sama dan hal itu berulang kali membuatku ingin menyerah sampai di sini saja. Namun rasanya tidak adil kalau aku menyerah sementara anak ini terus berjuang mempertahankan hidupnya. Satu hal yang tidak ingin aku dengar adalah ucapannya atau pertanyaannya mengenai sebuah eksistensi kehidupan. Mengapa? Karena aku turut memertanyakan hal itu di dalam benakku.

Deru nafas yang tidak beraturan itu mengalahkan suara berisik di luar sana. Menampik bayangan polisi tadi dan memusatkan seluruh kinerja otakku pada rangkaian zat. Mana... yang mana yang harus kuberikan agar batuk berdarahnya berhenti, agar suara nafas itu kembali normal.

Sementara Sky tergeletak di sana di atas tempat tidur, aku mulai bergulat lagi dengan pengetahuan abnormal yang mengerikan. Beragam nama zat, kegunaan, dosis, aturan, semua itu bersatu membaur di pikiranku. Panik, tentu aku panik. Berulang kali tiap kejadian seperti ini terjadi maka aku akan panik luar biasa, tidak ada yang bisa menenangkanku selain... selain uluran tangannya yang mencengkram bagian bawah kemejaku dan dengan peluh mengatakannya.

“Cukup... cukup sudah,”

Berpikir bahwa semuanya sebaiknya disudahi saja. Permainan kami di dalam laboratorium ini selama beberapa tahun ini sebaiknya diselesaikan saja. Berulang kali Sky mengatakan itu dan berulang kali juga aku menampiknya. Untuk apa? Untuk apa jadinya kalau kami sama-sama menyerah di sini, untuk apa semua pengorbanannya selama ini? Bukankah kami sama-sama ingin menciptakan sesuatu yang dapat memperbaiki keadaan di dunia ini? Zat yang bisa menjadi vaksin sekaligus obat bagi semua penyakit?

“Kak... cukup,”

Kata-kata itu terdengar menyakitkan di telingaku, sebuah kata menyerah. Padahal aku tidak ingin ia menyerah. Apa yang bisa kulakukan sekarang? Menatapnya miris kemudian memalingkan pandangan ke arah lain, berusaha kuat dan mengatasi hal ini. Pasti bisa bertahan sampai musim semi nanti, Sky pasti hidup dan kami akan berhasil. Suatu hari nanti pasti bisa.

“Diamlah, dan bertahan,” ucapku menegaskan bahwa kami tidak akan berhenti di sini. Sky tahu bagaimana keras kepalanya aku ini, ia hanya menyunggingkan senyum simpul dan menurunkan tangannya kembali ke sisi badannya yang ringkih.

Ia percaya padaku? Kami tidak boleh menyerah di sini.

[...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar