St. Petersburg Maret 1918 Awal
Musim dingin hampir selesai. Kekuasaan Tsar benar-benar jatuh sekarang. Siapa yang mau peduli pada keadaan kerajaan yang hancur lebur begitu? Mereka diculik katanya, mereka dibantai katanya, aku sama sekali tidak peduli. Yang kupedulikan saat ini hanyalah nasib anak-anakku, dan adikku. Mereka sama sekali tidak bisa kutemukan. Sebenarnya mungkin aku bisa mencari informasi namun perang saudara yang terus berkecamuk membuatku sulit bergerak. Apalagi mungkin pemerintah sedang mengobrak-abrik rumah yang dulu kutinggalkan.
Beberapa minggu saja aku tinggal di tempat ini. Berada di pengungsian orang-orang yang kehilangan rumah mereka. Yang menjadi korban perang saudara, berada di antara para pasien yang terluka. Tuan K, sebutanku untuk dokter heterochromia itu rupanya benar tahu kalau aku adalah pekerja medis. Berpura-pura dengan nama Yura seorang pegawai poliklinik desa, akhirnya aku membantu dokter yang agak gila ini untuk menangani para korban di sini.
Sedikit sekali rupanya orang yang mau membantu sesama. Bahkan pemerintahan setempat tidak memberi pertolongan selain menyediakan tempat. Si nenek ompong adalah salah satu orang yang peduli. Ia membuatkan makanan dengan bahan seadanya untuk para pasien di sini. Dan satu-satunya dokter yang ada hanya tuan K, dan aku yang tiba-tiba menjadi asistennya.
Semua ini berawal setelah beberapa kali ia memeriksa keadaanku. “Denyut nadimu sebenarnya normal,” berucap. Ia sengaja memancing pembicaraan seperti itu untuk mengetahui keahlian medisku. Beberapa kali berucap begitu, beberapa kali juga aku hanya membisu. Barulah ketika ia mengacungkan jarum suntik aku menarik tangan dari situ.
“Kau ini mau apa?” tanyaku dengan alis mengerut dan tatapan curiga. Tahulah, jarum suntik mengingatkanku pada Sky dan pada apa yang kulakukan padanya.
Ia hanya tersenyum. Tuan berambut emas dengan warna mata kiri dan kanan yang berbeda. Tetap mengacungkan suntikanya. “Aku dokternya, jelas yang kulakukan demi kesembuhanmu. Tuan pasien,” ujarnya ringan. Melalui kata-kata itu barulah aku tahu kalau dokter ini memang... sedikit gila.
“Maaf, tapi aku tidak sudi menjadi korban malpraktik dokter gila sepertimu,” ucapku tegas. Siapa yang mau juga disuntik dengan obat tidak jelas.
Tuan K hanya tersenyum, memberikan cengiran lebarnya. “Aku tidak akan menyuntikmu, dengan syarat kau harus membantuku.”
Dan syaratnya adalah menjadi perawat di sini. Tuan K tahu bahwa aku adalah pekerja medis hanya dari caraku melirik alat-alat medisnya. Ia berkata pandanganku tidak asing lagi dengan benda-benda itu, dan reaksiku ketika akan disuntik semakin meyakinkannya bahwa memang benar aku adalah pekerja medis.
Benar, tapi aku tidak pernah mengatakan apa pekerjaanku, siapa nama asliku, darimana asalku, dan bagaimana aku di sini. Tidak pernah dan janjiku adalah tidak akan pernah sampai keluargaku berhasi ditemukan. Hari itu Yura lahir, dan Deniska seakan mati. Siapa yang peduli pada Deniska Mikhailov, kecuali orang-orang yang merasa rugi karena telah kuhamburkan uangnya demi penelitian.
Hari itu aku hanya membantu tuan K menangani pasiennya. Membalut luka, menyiapkan peralatan medis, dan membuat obat herbal. Aku tahu pengetahuan dokter tidak hanya sampai sana. Belum lagi si dokter rambut pirang ini memiliki penalaran kejiwaan yang bagus. Dari caranya melirikku dapat diketahui bahwa orang ini sebenarnya tahu bahwa aku adalah seorang apoteker, yang terbiasa membuat obat. Namun pertanyaan besar itu disimpannya dengan rapi demi tugas kami sebagai petugas medis. Tidak pernah sekalipun ia menyinggungnya walau beberapa kali aku mengoceh berkaitan tentang hal tersebut. Yang kuyakini adalah, orang ini punya rencana.
Rencana besarnya adalah menjungkir-balikan hidupku. Bagus, secara tidak langsung ia mengintrogasi macam-macam. Mulanya karena ia adalah orang Inggris, bertanya soal negaraku, Rusia dengan Tsar Agung. Seperti pertanyaan kau orang Rusia asli? Di mana tempat lahirmu? Bagaimana kehidupan di sini, bukankah perang terus bergemuruh? Pertanyaan yang dilontarkan dalam bahasa Rusia yang menurutku aneh... ya aneh karena terkadang logat british-nya muncul dengan kental. Terdengar lucu sebenarnya, tapi tidak juga bisa membuatku menanggapinya dengan serius. Dia seakan adalah polisi yang sedang menyamar untuk memastikan bahwa aku adalah penjahat yang dicarinya. Untung saja tingkat intelektualku lumayan tinggi, jadi tiap pertanyaannya yang mengarah ke asal kehidupanku selalu kubalikan mengenai kehidupannya. Seperti pertanyaan bagaimana rasanya tinggal di Rusia? Sudah berapa lama tinggal di sini? Bagaimana Inggris? Hal-hal semacam itu. Sejujurnya aku juga ingin banyak bertanya tentang negara di sebrang barat Perancis itu. Semasa kuliahku di Sorbone dulu pernah ada tawaran untuk melanjutkan program magister di Inggris, namun tentu aku menolaknya karena saat itu ada masalah yang berkaitan dengan Zakya dan membuatku malah bertandang kembali ke negeri ini. Yah, mungkin memang tempatku bermula di sini, dan berakhir di sini juga.
Setelah tanya jawab itu, pembicaraan kami pasti berakhir dengan begitu saja. Selalu mengambang dengan kata ‘oh begitu ya’ atau ‘baiklah...’ kemudian melanjutkan kerja. Sejujurnya kami berbicara seperti itu hanya pada saat istirahat saja, dan tahu lah, waktu istirahat jauh lebih sedikit ketimbang waktu bekerja yang sebenarnya lebih banyak digunakan untuk mendengarkan keluhan para pasien mengenai keadaan yang mencekam ini.
Sebutlah sebuah perang yang disebut perang saudara, antara tentara merah melawan tentara putih. Sesungguhnya aku tidak begitu mengerti mengenai semua ini. Hanya mendengar kabar tentang gejolak revolusi kaum Bolshevik yang membuat para buruh serta petani mengangkat senjata, mengoyak kereta api dengan cara mereka untuk menurunkan pemerintahan yang ada. Tsar yang Agung? Oh... tidak tahulah, kabar merebak dengan cepat. Bahkan di antara para korban di sini ceritanya bermacam-macam dari berbagai versi. Kebanyakan dari mereka adalah kaum buruh dan petani yang sesungguhnya hanya ingin mendapat kemakmuran layaknya para penduduk monarki di istana. Yah, semua orang memang menginginkan itu, tapi tidak selalu dengan jalan yang salah. Lagi-lagi hal ini menyinggungku tentang ambisi yang berubah menjadi emosi.
“Tidak kah kau tahu asal-muasal peperangan ini?” Diskusi tuan dokter dimulai. Ia selalu mengajakku berdiskusi di waktu senggang kami yang tidak terlalu banyak ini. Intinya sih mungkin mau mengintrogasiku dengan membaca jalan pikiran. Namun yang sepert itu mudah tertebak, jadi aku hanya perlu menjawabnya asal.
Mengangkat bahu, “Tidak tahu dan tidak tertarik.” Menjawab singkat, dingin seperti aku pada umumnya. Sebenarnya juga aku tidak terlalu banyak ber-akting karena bagaimanapun hanya nama dan asal-usul yang kuganti, bukan identitas lain seperti personaliti.
Percakapan kami umumnya membosankan karena yang diobrolkan hanya segala tentang perang, revolusi, dan hal lain seputar kenegaraan. Beruntung, begitu aku kembali ke negeri ini industri obat membuatku tidak jatuh menjadi kaum buruh. Jika ya, mungkin aku sudah bergabung dengan pihak revolusioner, mendukung apa yang dikatakan tuan Vladimir dan jatuh mati di tempat ini. Dengan kata lain, semua yang terjadi padaku sungguh adalah keberuntungan. Beragam hal yang terjadi justru bukan mengantarkanku pada kesengsaraan melainkan kehidupan yang lain. Ini seperti fase, mula-mula aku hanya murid biasa di Sorbone, kemudian beralih ke industri obat di Rusia, selebihnya, sekarang yang terjadi aku menjadi asisten tuan dokter untuk merawat para revolusioner dan korban perang.
Perang... yah perang.
Padahal kalau aku ada di Amerika atau Inggris, semua ini pasti tidak akan sememusingkan ini. Atau jika aku memutuskan untuk tetap berada di Perancis setelah semua masalah yang kutimbulkan, lulus dari universitas itu... bekerja dengan normal, hidup normal. Terlambat. Yang ada, sekarang aku hanyasmenjadi seorang pecundang yang bahkan tidak dapat melindungi keluargaku sendiri. Sampai hari ini, tidak ada satupun informasi mengenai si kembar atau Sky. Untuk kedua kalinya, mungkin, aku memohon pada dia yang disebut sebagai penguasa segalanya untuk melindungi keluarga kecilku. Tidak ingin kehilangan mereka seperti aku kehilangan Zakya dahulu.
...
Dan hari terus berputar. Kami sibuk sendiri hingga tidak terasa semua konflik yang ada seperti abu di musim gugur, memudar dan menghilang. Musim dingin kembali menemui musim dingin. Hampir setahun kiranya aku hidup luntang-lantung, bergantung pada dokter K yang membantuku untuk bisa bertahan. Sampai hari itu, pertanyaan dokter aneh itu masih sama. Semua tentang Rusia, aku, dan lingkunganku. Entah apa yang ia cari.
Sedikit kugambarkan mengenai seorang dokter bernama Kylan Kharisteria. Dia orang Inggris asli. Setahuku, melalui ceritanya, ia adalah orang yang hidup normal, tidak punya ambisi, dan bahkan menjadi dokter karena ayahnya yang juga seorang dokter. Pria ini katanya hampir menikah, namun membatalkannya karena satu-dua hal. Tunangannya adalah perwira wanita, yah pantas saja kalau ia batal nikah dalam kondisi perang dunia seperti sekarang ini. Tuan K adalah panggilan akrabnya. Secara fisik ia lumayan sebagai seorang dokter (ini penglihatanku sebagai lelaki normal), tinggi jangkung, berambut pirang kecoklatan, dan yang menarik darinya adalah sepasang mata heterochromia berwarna merah dan hijau. Itu yang membuat ia banyak dikagumi pasien wanita sepertinya.
[...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar